Semangat Baru Akhir Tahun: Inovasi Kita “Meroket”
Sebagaimana pada terbitan-terbitan sebelumnya Global Innovation Index (GII) edisi tahun 2022 ini menyajikan kinerja ekosistem inovasi dari 132 negara, serta melaporkan berbagai tren inovasi global terbaru, dengan latar belakang pandemi COVID-19 yang saat ini masih berlangsung; sehingga terjadi perlambatan pertumbuhan produktivitas secara global, selain juga hadirnya berbagai tantangan dan ancaman bagi masyarakat di seluruh dunia. Fokus tematik pada edisi ini menyoroti tentang pertumbuhan di masa depan yang didorong oleh inovasi, untuk memberikan gambaran apakah pertumbuhan produktivitas global akan tetap rendah / stagnant? Atau barangkali kita justru sedang memasuki era baru, di mana berbagai inovasi baru berbasis digital yang berkembang, serta gelombang inovasi berbasis ilmu pengetahuan canggih; akan mendongkrak kebangkitan ekonomi dunia yang baru?
Bagi prakarsa inovasi di Indonesia, laporan GII 2022 ini terasa menggairahkan dan menerbitkan semangat baru, karena ranking kinerja ekosistem inovasi Indonesia di tahun 2022 ini melesat dari posisi ke 87 tahun lalu menjadi ranking 75! Padahal selama sepuluh tahun terakhir, sekalipun berbagai prakarsa inovasi telah dilakukan; Indonesia belum bisa membuktikan adanya kemajuan dalam kinerja ekosistem inovasinya di ranking GII, yang tidak pernah berada di ranking kurang dari 80an. Sedangkan negara-negara tetangga yang pada awalnya sekelas dengan Indonesia di kelompok underdogs (peringkat 80 sampai 100), seperti Filipina dan Vietnam, saat ini mereka sudah "melesat" di kisaran 50-an. Jangan dikata negeri Singapura dan Korea Selatan, yang kini telah bertengger di peringkat "elite" sebagai warga 10 negara paling inovatif di dunia.
Analisis awal (lihat slide # 3), mengindikasikan bahwa hadirnya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mendongkrak ranking kita dari aspek Institutions / kelembagaan (pilar 1) secara signifikan, melalui prakarsa "top-down" oleh Pemerintah. Sementara itu maraknya aplikasi teknologi digital, yang khususnya dipicu oleh musibah dan PPKM Covid-19, sepertinya justru menyebabkan “krisis yang membawa berkah”. Bisnis dan Pasar (pilar 4 & 5) merespons krisis yang terjadi secara "bottom-up" (atau demand driven) dengan menghadirkan berbagai model bisnis yang lebih sophisticated/ inovatif, misalnya dengan maraknya bisnis “online”; yang selanjutnya menjadi dasar penggunaan “digital analytics” dan pada gilirannya melahirkan berbagai gagasan bisnis “startups” demi “survival”. Hal ini telah ikut mendongkrak kenaikan indeks Creative Outputs dari ekosistem inovasi kita (pilar 7). Meroketnya bisnis Go-Jek dan Tokopedia (yang selanjutnya menjadi Go-To, sang Decacorn pertama Indonesia) adalah contoh yang pas untuk fenomena ini.
Di sisi lain, kehadiran institusi BRIN yang diharapkan menjadi terobosan dalam meningkatkan efisiensi ekosistem inovasi kita, ternyata masih belum efektif dalam mengungkit aspek Human Capital & Research (pilar 2) maupun Infrastruktur Riset dan Inovasi (pilar 3). Padahal, kedua pilar inilah yang diharapkan akan bisa menggenjot Hilirisasi Riset dan Teknologi menuju Aplikasi (pilar 6). Menjadi tugas kita bersama ke depan untuk mendorong / memotivasi / memobilisasi pilar input 2 & 3 di atas untuk menghasilkan Innovation Outputs berbasis IPTEK pada pilar 6; yang seharusnya justru merupakan potensi utama ekosistem inovasi Indonesia, dimana sebagian besar (> 80%) sumber daya IPTEK nasional dapat dikendalikan oleh pemerintah.
Semoga momentum berita baik dari GII ini dapat segera kita sikapi dengan mengkaji ekosistem inovasi Indonesia kita; untuk terus menggenjot aspek-aspek (atau pilar-pilar) ekosistem inovasi kita yang sudah menuju arah yang benar; namun juga berani melakukan introspeksi untuk mengubah, merombak, bahkan melakukan upaya banting-setir (turnaround) pada pilar-pilar ekosistem inovasi kita yang masih macet.
Salam inovasi !
(KS/271222)